Sunday, May 15, 2011

Sensasi Sate Ikan Marlin

KOMPAS.com - Makanan sate tentunya tidak lagi asing bagi kita, penduduk Indonesia. Berbagai jenis daging macam sapi, kambing, ayam, hingga domba bisa dibuat sate. Namun, apa jadinya apabila daging yang disate adalah ikan?


Apalagi, jika jenis ikannya tidak lazim, yaitu ikan blue marlin? Di Lampung Barat, khususnya wilayah Krui dan Liwa, sate blue marlin tidak lagi asing. Di kedua kota ini, sate ikan blue marlin atau yang biasa disebut tuhuk adalah salah satu makanan kegemaran warga.


Kedai-kedai sate tuhuk banyak ditemui di Krui maupun Liwa. Salah satu kedai atau warung makan di yang khusus menjual sate tuhuk adalah Pondok Kuring. Kami berkesempatan mencicipi sate tuhuk yang dijual RM Pondok Kuring di Liwa, beberapa waktu lalu.


Sate tuhuk ini memiliki rasa yang sangat unik. Ketika melewati teronggokan, rasanya sangat lembut. Tidak lazimnya daging ikan lainnya, rasanya juga tidak terlalu amis. Tekstur daging ikan yang juga biasa disebut ikan layaran ini mirip ikan salmon.


Rasanya gurih dan manis. Namun, berbeda dengan jenis ikan pada umumnya, ketika dibakar, daging mentahnya tidak lengket. Daging ikan ini berwarna kemerah-merahan, mirip daging sapi. Jika belum dibakar, teksturnya liat seperti daging hewan.


Dagingnya pun tebal. Sehingga, saat masih di dalam tusukan, rupanya tidak jauh berbeda dengan sate daging sapi super yang penuh dengan daging, tanpa lemak. "Rasanya unik sekali. Seperti ayam, tetapi aroma rasanya lebih kuat dan gurih," ujar Asep (34), salah seorang pengunjung.



Sate ikan tuhuk dibuat dari daging ikan blue marlin yang segar. Bumbunya tidak jauh be rbeda dengan sate-sate pada umumnya. Menurut Heriyanto (21), karyawan RM Pondok Kuring di Liwa, bumbu bakarnya adalah kecap, penyedap rasa dan garam dicampur sedikit bumbu kacang.


Sate ini tidak perlu dibakar untuk waktu yang lama, cukup 15-18 menit. Jika terlalu lama dibakar, kandungan proteinnya yang sangat tinggi, akan berkurang. Sate jenis ini umumnya disajikan dengan bumbu kacang.




Sangat terjangkau
Pengunjung tidak perlu merogoh kocek dalam untuk bisa menikmati sate yang hanya ada di Lampung Barat ini. Harga per porsi-terdiri dari 10 tusuk, hanya Rp 12.000. Namun, tidak setiap saat, sate tuhuk ini bisa disajikan di rumah makan yang berada di Jalan Raden Intan No 109 Liwa, Lampung Barat ini.


Menurut Yanti, pemilik RM Pondok Kuring, pada musim tertentu, misalnya angin barat, daging blue marlin sulit didapat. Sebab, nelayan umumnya takut melaut karena angin kencang. Namun, hampir di sepanjang tahun, kecuali saat ombak tinggi, ikan tuhuk sebagai bahan bakunya masih bisa didapat.


Nelayan-nelayan di Lambar, khususnya Krui, hingga kini masih menjadikan ikan tuhuk sebagai buruan utama. Ikan tuhuk ukurannya bisa mencapai 0,5 ton. Daging segar ikan ini dihargai rata-rata Rp 25.000 Rp 27.000, tidak jauh berbeda dengan harga daging ayam segar.




Uniknya, di RM Pondok Kuring, tidak hanya sate, ikan tuhuk juga dijadikan bahan makanan lainnya, yaitu mulai dari sop, batagor, hingga bakso. Pengunjung yang datang ke sini tidak boleh melewatkan seporsi sop ikan tuhuk yang rasanya sangat segar dan unik.

Seporsi sop ikan tuhuk harganya lebih murah, yaitu Rp 10.000, sementara batagor dan bakso Rp 6.000. Rumah makan ini buka dari pukul 08.00 WIB hingga 22.00 WIB. Selain di Liwa, RM makan ini juga terdapat di Serai, Lampung Barat, dan Krui.

Ikon daerah
Di Kabupaten Lambar, ikan tuhuk juga telah menjadi maskot daerah. Bahkan, patung ikan tuhuk dapat kita temui di Krui. Ikan blue marlin telah menjadi ikon dan daya tarik pariwisata di Lambar. Kegiatan memancing ikan dari jenis layaran ini telah menjadi daya tarik para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.


Kegiatan memancing ini, misalnya, biasa dilakukan di perairan Pantai Labuhan Jukung. Untuk memancing, pengunjung biasa menyewa perahu milik nelayan dengan tarif Rp 400.000 Rp 700.000 selama seharian penuh.


Di sini, jika tidak ingin memancing sendiri, kita pun dapat melihat para nelayan tradisional menangkap tuhuk dengan alat seadanya. Mereka umumnya menggunakan kawil apung (pancingan) yang dipasang ikan tongkol sebagai umpan.


Kawil apung ini adalah sebuah pancing yang diikatkan pada jeriken sebagai pelampung. Jika jeriken berukuran lima liter ini bergerak-gerak di permukaan air, berarti umpan sudah dimakan tuhuk. Nah, untuk membawa ruhuk ke permukaan tidaklah mudah.


"Nelayan harus menarik senar dengan sekuat tenaga hingga ke permukaan. Di sinilah serunya, akan muncul adu kuat perlawanan antara penangkap dan ikan," ujar Asep yang juga pernah menyaksikan langsung bagaimana para nelayan di Krui menangkap ikan tuhuk.


Jika sudah di permukaan, ikan tuhuk yang memiliki sirip mirip layar dan sebuah tanduk panjang di mulutnya ini langdung digebuk dengan balok. Sebagian menghujamnya dengan tombak agar ikan ini tidak melukai orang.




Karena keunikannya sampai-sampai, gambar ikan tuhuk baru-baru ini juga dibatikkan di dalam seragam batik yang biasa dipakai para PNS di jajaran Pemkab Lambar. Ikan tuhuk telah menjadi simbol kehidupan warga dan keunikan Lambar. (Yulvianus Harjono)


Sumber : KOMPAS

Nasi Campur Bali Satria, Joss Gandoss...

Pada hari ke-3 di Bali, seharian kami pergi ke Ubud, melihat kerajinan perak di Celuk dan belanja baju-baju Bali di Pasar Sukowati. Malamnya, kami ngidam makan Nasi Campur Bali. It’s a must hehe... Akhirnya teman kami, mbak Purnie, mengajak kami untuk mencoba Warung Satria.
Setelah perjalanan sekitar 30 menit dari Sukowati, sampai juga kami di Jalan Kedondong, Denpasar.



Warung Satria namanya, meskipun tempatnya tidak terlalu besar, tapi tempat ini lumayan legendaris. Pemiliknya bernama Ibu Ni Ketut Kerti. Awalnya rumah makan ini berada di Jalan Veteran, tapi kemudan pada tahun 1975 tergusur karena dijadikan jalan protokol. Barulah Warung Satria ini pindah ke Jalan Kedondong.
Menu-menunya disajikan berjajar di sebuah meja, kita tinggal memilih mau dengan lauk apa saja, atau bisa juga pesan Nasi Campur Komplit. Nasinya pun bisa diganti dengan Ketupat. Menu nasi campurnya antara lain sate lilit, sayur plecing, sayur kelapa, sate tusuk ayam, ayam goreng bumbu bali, ayam suir-suir, ayam sambal mentah, dan masih banyak lainnya.



Aduhh... benar-benar menggoda iman lauknya. Kali ini saya memilih makan ketupat dengan lauk sate lilit, sate ayam tusuk, ayam suir-suir, ayam sambal mentah dan sayur plecing kacang panjang. Nah yang uniknya disini nasi campurnya disajikan dengan kuah sayur nangka yang hangat. Mari kita coba rasanya.
Kuahnya saya campur ke ketupatnya, dicampur dengan sambalnya, jadi lebih mantap. Rasa ayam suitnya enak banget, sate lilit dan sate ayamnya pun sangat enak. Apalagi rasa ayam sambal mentahnya, joss gandoss hehe... Enak banget lho nasi campur Satria, rugi kalau ke Bali tidak mencobanya. (Ita)

Menu : Nasi Campur Ketupat Ayam Campur Nasi Sate Campur Sayur Ares Sayur Plecing Kacang Panjang Sayur Kelapa (Benyuh) Sayur Nangka Sate Lilit Sate Tusuk Ayam Ayam Goreng Bumbu Bali Ayam Panggang Ayam Betutu Ayam Sambal Mentah Ayam Suir-Suir Telur Bumbu Sambal Hati Goreng


Sumber : KOMPAS