Ketika kuliner China bersentuhan dengan rasa Melayu, lahirlah kemudian masakan peranakan. Suatu paduan yang indah di lidah.
Asam-asam
 iga sapi, soka salad mangga, ikan pecah kulit bakar dengan pelengkap 
sambal petis dan sambal tomat, serta segelas es cin teng, yang berisi 
berbagai bahan herbal asal negeri China, tersaji di meja makan Kedai 
Tiga Nyonya pada Kamis (27/1/2011) siang.
Di tengah udara panas 
Jakarta pada siang itu, menyantap menu yang merupakan favorit pelanggan 
restoran tersebut terasa sangat pas. Sesuai namanya, asam-asam iga, yang
 disajikan di panci kecil beserta pemanasnya, terasa segar. Kuahnya 
mirip seperti kuah tom yam, asam dan agak pedas.
Rasa segar juga 
ada pada soka salad mangga yang memakai mangga muda sebagai salah satu 
bahan utama. Irisan mangga berbentuk seperti korek api, daun selada, dan
 wortel diracik dengan bawang merah, potongan cabai, dan bumbu lain yang
 memunculkan rasa asam sekaligus segar. Di atas irisan berbagai sayuran 
ini diletakkan kepiting soka, kepiting bercangkang lunak, yang digoreng 
dengan balutan tepung.
Menu lain yang tak kalah nikmat, terutama 
saat disantap dengan nasi putih hangat, adalah ikan pecah kulit yang 
dibakar. Sepintas, rasanya mirip ikan kue, tetapi yang ini memiliki 
daging yang lebih tebal.
Menurut Paul B Nio, pemilik restoran yang
 didirikan Desember 2003 ini, ikan pecah kulit adalah ikan laut yang 
hidup di perairan dalam. Meski bumbunya sudah cukup terasa hingga ke 
daging ikannya, Kedai Tiga Nyonya menyajikan menu ini dengan pilihan 
sambal petis dan sambal tomat, seperti dabu-dabu, yang khas Indonesia.
Maka,
 jadilah menu yang diberi nama Ikan Bakar Spesial Tiga Nyonya ini 
menjadi salah satu representasi menu peranakan, dalam hal ini gabungan 
antara menu Indonesia dan China.
”Saya berusaha agar menu 
peranakan yang ada di sini menampilkan sisi Indonesia, baik saat 
dipadukan dengan kuliner China maupun Belanda,” kata Paul yang juga 
menyediakan menu yang dipengaruhi budaya Belanda.
Keinginan Paul 
menonjolkan sisi Indonesia ini dilatarbelakangi pengalaman dia dan 
istrinya, Winnie. Keduanya cukup sering mencicipi masakan peranakan di 
Singapura saat mengunjungi anak mereka yang sekolah di sana.
”Di 
Singapura dan Malaysia, masakan peranakan dikenal dengan luas 
dibandingkan di Indonesia. Tetapi, hampir semuanya berbumbu kari. Agak 
sulit untuk menemukan masakan dengan variasi lain,” kata Paul.
Dari
 pengalaman itulah, Paul, yang memang sudah melirik bisnis kuliner 
selepas krisis moneter, melihat peluang besar, yaitu mempromosikan 
perpaduan kuliner China dengan kuliner Indonesia yang lebih beragam. 
Setelah menetapkan jenis masakan yang akan dijual, Paul dan istrinya 
mengumpulkan resep keluarga untuk memunculkan konsep makanan rumahan.
Atmosfer peranakan 
Untuk
 menyajikan keotentikan rasa, Kedai Tiga Nyonya menghindari penggunaan 
penyedap rasa berupa MSG. ”Kami benar-benar memakai bahan aslinya. MSG 
diganti rempah-rempah atau bumbu lain. Toh, orang zaman dulu tidak 
memakai MSG saat memasak,” kata Paul, yang kemudian menjelaskan 
konsekuensi dari penggunaan bahan-bahan otentik tersebut, yaitu harga di
 restorannya lebih mahal dibandingkan restoran lain yang sejenis.
Sebagai
 bagian dari strategi pasar, yaitu untuk menjangkau konsumen yang luas, 
Paul memilih menyajikan hanya makanan halal meski sesekali ada konsumen 
yang menanyakan menu nonhalal.
Suasana rumah pun dibuat di Kedai 
Tiga Nyonya untuk memperkuat konsep masakan, salah satunya di TIS 
Square, Tebet, Jakarta. Di salah satu sudut ruangan dengan meja makan 
bundar, terdapat beberapa guci, sangkar burung yang digantung di 
langit-langir, dan lemari 
cuiho yang sudah berusia sekitar 80 
tahun. Seperti halnya resep, beberapa barang yang menjadi interior 
ruangan adalah barang-barang milik keluarga.
Nama Tiga Nyonya 
sendiri berasal dari sebuah foto hitam putih bergambar dua perempuan 
dewasa dan anak kecil mengenakan kebaya encim dan kain. ”Foto aslinya 
milik kolektor barang seni. Karena dia tidak mau menjualnya, fotonya 
saya pinjam untuk diperbesar supaya bisa saya tempatkan di setiap Kedai 
Tiga Nyonya,” kata Paul sambil menunjukkan sebuah buku bertahun 1892 
dalam foto tersebut.
Peranakan Malaysia
Istilah
 makanan peranakan tak hanya dikenal di Indonesia. Kuliner percampuran 
dari bangsa yang berbeda ini juga dikenal di Malaysia dan Singapura. 
Beberapa restoran Malaysia yang bertemakan kuliner peranakan bahkan 
sudah merambah pasar Indonesia, salah satu di antaranya adalah Ah Tuan 
Ee's yang berada di Pacific Place, Jakarta.
Restoran yang berdiri 
tahun 2000 di Petaling Jaya, dekat Kuala Lumpur ini, menyajikan makanan 
peranakan yang tak hanya memadukan masakan Malaysia dan China, tetapi 
juga dipengaruhi kuliner Portugis dan Belanda.
Dalam buku menu 
restoran ini diceritakan, masakan yang dijual berasal dari resep 
keluarga, seperti halnya Kedai Tiga Nyonya. Frankie Cheah, pendiri 
restoran, menjual masakan dari resep milik ibunya, Lim Chye Tuan.
Dalam
 buku menu itu pula diceritakan, masakan Malaysia peranakan pada umumnya
 memiliki rasa pedas, seperti asam laksa dan ikan asam pedas. Masakan 
peranakan lain yang cukup populer di Malaysia adalah laksa dan kangkung 
belacan (terasi).
Pengelola Ah Tuan Ee's di Indonesia, Iwan 
Tjandra, mengatakan, secara umum masakan peranakan Malaysia dan 
Indonesia tidak jauh berbeda. ”Yang membedakan biasanya hanya di 
beberapa bumbu. Misalnya, ikan goreng asam manis. Di Malaysia, ikannya 
dilumuri belacan lebih dulu, sedangkan di Indonesia langsung digoreng. 
Rasa asam manisnya sendiri adalah khas China,” tutur Iwan.
Beberapa
 menu juga sama-sama dimiliki kedua bangsa dengan kekhasannya 
masing-masing, seperti nasi goreng, mi goreng, dan nasi uduk atau yang 
di Malaysia disebut nasi lemak.